“Dinding dan atap sekolah beberapa kali jatuh dan hampir melukai teman-teman di kelas.” Sarnela
Tidak ada dinding kokoh dan atap yang kuat, kondisi SDN Sufmuti di Kupang, NTT sangat tidak layak.
Dinding tempat Sarnela dan teman-temannya menimba ilmu itu hanya terbuat dari kayu tipis yang rapuh. Sementara atap sekolah terbuat dari daun gewang.
Tampak jelas di bagian belakang kelas, lubang besar menganga membuat air pasti masuk saat hujan. Lantai dari tanah juga membuat debu halus beterbangan dan terhirup anak-anak.
Kami punya bapak dan mama yang bangun sendiri kami punya sekolah,” lanjut Sarnela.
Sekolah yang ia tempati bersama anak-anak lain di Kupang sebenarnya hasil swadaya dari orang tua mereka.
Tanpa inisiatif itu, Sarnela dan teman-temannya mungkin tidak sekolah.
Kisah SDN Sufmuti hanyalah satu potret kecil gambaran kondisi kekurangan sekolah di Kupang
Melihat hal ini, respon pemerintah hanya mampu memperbaiki 27,5% kelas rusak. Alokasi anggaran yang berhubungan dengan prasarana (gedung dan ruang kelas) untuk kegiatan rehabilitasi dan pengadaan ruang kelas baru (RKB) dalam beberapa tahun terakhir masih minim, bahkan cenderung menurun setiap tahunnya.
Jika mengacu pada situasi alokasi anggaran dan tata kelola yang belum efektif, maka butuh 12-15 tahun bagi Pemkab Kupang untuk menyelesaikan ruang kelas rusak sedang dan rusak berat (dengan asumsi bahwa yang dalam kondisi baik tetap terjaga).
Sungguh miris, mengingat Sarnela dan ribuan anak di Kupang punya hak untuk mendapat pendidikan yang layak. Sangat mengkhawatirkan, cita-cita serta impian mereka dibayang-bayangi bahaya kondisi sekolah yang dapat roboh sewaktu-waktu.
Berdonasi sebesar Rp 150,000
29 November 2019
Berdonasi sebesar Rp 50,000
28 November 2019
Berdonasi sebesar Rp 500,000
10 November 2019
Berdonasi sebesar Rp 100,000
05 November 2019